PUBLIKASI ONLINE
Teknologi informasi
dan komunikasi (ICT) kian berkembang pesat dewasa ini. Dalam hitungan
detik, segala informasi dan berita dari segala penjuru negeri bisa kita akses
dengan mudah, terutama melalui internet, salah satu produk ICT. Bukan sekedar
media, teknologi informasi dan komunikasi ini juga mempunyai pengaruh dalam
proses demokratisasi, terutama terkait salah satu komponen utama demokrasi,
yaitu transparansi. Oleh karena itu, harus ada edukasi mengenai
pemanfaatan media online ini, terutama jika media online ini digunakan sebagai
sarana publikasi.
Menyikapi
perkembangan ini, tim website P2P-LIPI (www.politik.lipi.go.id) pada tanggal 10 Desember 2009 mengadakan
workshop mengenai ”Publikasi Online” dengan menghadirkan dua orang narasumber,
yaitu Romi Satria Wahono dengan makalahnya yang berjudul ”Science
2.0: Paradigma Baru Penyebaran Ilmu Pengetahuan Secara Online” dan Syafuan Rozi Subhan, SIP, MSi dengan
makalahnya yang berjudul ”Cyberclash,
Demokrasi dan Resolusi Konflik”.
Dalam paparannya,
Romi yang merupakan CEO PT Brainmatics dan pendiri IlmuKomputer.com
mengemukakan bahwa perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat,
khususnya internet, telah membuat dunia semakin datar. Hal ini berdampak pada
proses kolaborasi dan publikasi yang menjadi semakin mudah dan cepat dilakukan.
Web 1.0 pun kini bergerak menjadi Web 2.0 yang pada intinya memberikan hak
lebih kepada pengguna untuk berpartisipasi secara aktif. Contoh layanan web
yang menggunakan pendekatan web 2.0 ini adalah situs jejaring sosial yang
akhir-akhir ini marak digunakan, seperti Facebook dan Friendster, termasuk juga
Blogs (wordpress.com, blogspot.com, multiply.com), dan Wikipedia.
Penerima penghargaan
dari PBB tahun 2003 untuk Continental Best Practice Examples (Special
Mentions) in the Category e-Learning ini lebih jauh mengungkapkan
bahwasanya kini semakin banyak peneliti yang mempublikasikan tulisan ilmiahnya
melalui fasilitas Web 2.0. Hal inilah yang disebut Science 2.0. Proses
penelitian secara alami akan menuju ke Science 2.0 ini. Di sisi lain,
penggunaan Science 2.0 ini bukan berarti tanpa kendala. Science 2.0 membuka
peluang terjadinya pelanggaran hak kekayaan intelektual. Dari tujuh ragam Hak
Kekayaan Intelektual, yang paling erat hubungannya dengan penelitian adalah hak
cipta dan paten. Dari sisi fisik, sebagian besar publikasi ilmiah berada dalam
ranah ”hak cipta” pada konsepsi HKI. Hak cipta sifatnya melekat ke pencipta
meskipun tanpa didaftarkan. Yang paling menentukan dari klaim hak cipta adalah
ketuaan dari usia dokumen. Sementara, publikasi online membawa
catatan ”age of document” pada setiap dokumennya. Dengan demikian
menurut Romi, boleh disimpulkan bahwa publikasi online justru
sebenarnya dapat mencegah terjadinya pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual,
khususnya jenis hak cipta. Berbagai teknologi dan strategi juga bisa digunakan
untuk mencegah dan memberikan punishment bagi pelaku
pelanggaran, terutama community punishment.
Berkaitan langsung
dengan ruang politik, Syafuan Rozi Subhan, SIP, MSi., mengungkapkan potensi
pengembangan demokrasi dan resolusi konflik dengan ditemukannya sistem
komunikasi personal seperti handphone dan berbagai peralatan
komunikasi digital seperti e-mail, internet, VoIP (Voice over
Internet Protocol), sistem komunikasi jarak jauh dengan
Skype, dan tidak menutup kemungkinan mengubah proses politik
konvensional dengan cara face to face menjadi politik online.
Peneliti bidang politik nasional Pusat Penelitian Politik LIPI ini mengambil
kasus cyberclash atau debat sengit antara Malindo
(Malaysia-Indonesia) netters atau pengguna mailing-list dan blogs.
Gejala ini menyeruak sejak munculnya isu ”I hate Indon”, ”Indonsial”,
dan ”Malingsia” antara tahun 2007-2009 di new media virtual
website. Persoalan ini terkait dengan berbagai persoalan kehidupan dan soal
perasaan kebangsaan Indonesia-Malaysia, seperti klaim warisan budaya dan salah
pengertian mengenai pemakaian unsur budaya untuk iklan pariwisata, seperti
lagu Rasa Sayange, Batik, Reog, Tari Pendet, Kamus Bahasa Melayu-USU,
kondisi Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia, dan masih banyak lagi kasus lain
yang muncul dalam hubungan antar bangsa serumpun ini.
Untuk itu, menurut
Rozi, pengembangan demokrasi yang sehat, rekonsiliasi dan membangun perdamaian
dengan cara memperbaiki hubungan, yang secara resmi berada di pundak pemimpin
kedua negara, sudah seharusnya kini menyentuh seluruh lapisan pejabat negara,
para birokrat, para diplomat, para ilmuwan, para seniman/artis, para pemuda,
pelajar dan mahasiswa sampai ke akar rumput, termasuk media massa dan para
pengguna internet antar bangsa. Cyberclash atau cyberwarperlu
diubah menjadi konflik fungsional yang mengarah kepada keseimbangan baru dan
membangun sinergi untuk kemajuan bersama di masa yang akan datang.
SUMBER :
ETIKA DALAM PENELITIAN DENGAN BANTUAN INTERNET
Etika berasal dari bahasan Yunani ethos. Istilah etika
bila ditinjau dari aspek etimologis memiliki makna kebiasaan dan peraturan
perilaku yang berlaku dalam masyarakat. Menurut pandangan Sastrapratedja
(2004), etika dalam konteks filsafat merupakan refleksi filsafati atas moralitas
masyarakat sehingga etika disebut pula sebagai filsafat moral. Etika membantu
manusia untuk melihat secara kritis moralitas yang dihayati masyarakat, etika
juga membantu kita untuk merumuskan pedoman etis yang lebih adekuat dan
norma-norma baru yang dibutuhkan karena adanya perubahan yang dinamis dalam
tata kehidupan masyarakat. Sedangkan etika dalam ranah penelitian lebih
menunjuk pada prinsip-prinsip etis yang diterapkan dalam kegiatan penelitian.
Peneliti dalam melaksanakan seluruh kegiatan penelitian harus memegang teguh sikap ilmiah (scientific attitude) serta menggunakan prinsip-prinsip etika penelitian. Meskipun intervensi yang dilakukan dalam penelitian tidak memiliki risiko yang dapat merugikan atau membahayakan subyek penelitian, namun peneliti perlu mempertimbangkan aspek sosioetika dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan (Jacob, 2004).
Etika penelitian memiliki berbagai macam prinsip, namun terdapat empat prinsip utama yang perlu dipahami oleh pembaca, yaitu: menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity), menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for privacy and confidentiality), keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness), dan memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and benefits) (Milton, 1999; Loiselle, Profetto-McGrath, Polit & Beck, 2004). Prinsip pertama, peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subyek untuk mendapatkan informasi yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki kebebasan menentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian (autonomy). Beberapa tindakan yang terkait dengan prinsip menghormati harkat dan martabat manusia, adalah: peneliti mempersiapkan formulir persetujuan subyek (informed consent) yang terdiri dari: (1) penjelasan manfaat penelitian; (2) penjelasan kemungkinan risiko dan ketidaknyamanan yang dapat ditimbulkan; (3) penjelasan manfaat yang akan didapatkan; (4) persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan subyek berkaitan dengan prosedur penelitian; (5) persetujuan subyek dapat mengundurkan diri kapan saja; dan (6) jaminan anonimitas dan kerahasiaan. Namun kadangkala, formulir persetujuan subyek tidak cukup memberikan proteksi bagi subyek itu sendiri terutama untuk penelitian-penelitian klinik karena terdapat perbedaan pengetahuan dan otoritas antara peneliti dengan subyek (Sumathipala & Siribaddana, 2004). Kelemahan tersebut dapat diantisipasi dengan adanya prosedur penelitian (Syse, 2000).Prinsip kedua, setiap manusia memiliki hak-hak dasar individu termasuk privasi dan kebebasan individu. Pada dasarnya penelitian akan memberikan akibat terbukanya informasi individu termasuk informasi yang bersifat pribadi. Sedangkan, tidak semua orang menginginkan informasinya diketahui oleh orang lain, sehingga peneliti perlu memperhatikan hak-hak dasar individu tersebut. Dalam aplikasinya, peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas baik nama maupun alamat asal subyek dalam kuesioner dan alat ukur apapun untuk menjaga anonimitas dan kerahasiaan identitas subyek. Peneliti dapat menggunakan koding (inisial atau identification number) sebagai pengganti identitas responden.Prinsip ketiga, prinsip keadilan memiliki konotasi keterbukaan dan adil. Untuk memenuhi prinsip keterbukaan, penelitian dilakukan secara jujur, hati-hati, profesional, berperikemanusiaan, dan memperhatikan faktor-faktor ketepatan, keseksamaan, kecermatan, intimitas, psikologis serta perasaan religius subyek penelitian. Lingkungan penelitian dikondisikan agar memenuhi prinsip keterbukaan yaitu kejelasan prosedur penelitian. Keadilan memiliki bermacam-macam teori, namun yang terpenting adalah bagaimanakah keuntungan dan beban harus didistribusikan di antara anggota kelompok masyarakat. Prinsip keadilan menekankan sejauh mana kebijakan penelitian membagikan keuntungan dan beban secara merata atau menurut kebutuhan, kemampuan, kontribusi dan pilihan bebas masyarakat. Sebagai contoh dalam prosedur penelitian, peneliti mempertimbangkan aspek keadilan gender dan hak subyek untuk mendapatkan perlakuan yang sama baik sebelum, selama, maupun sesudah berpartisipasi dalam penelitian.Prinsip keempat, peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian guna mendapatkan hasil yang bermanfaat semaksimal mungkin bagi subyek penelitian dan dapat dijeneralisasikan di tingkat populasi (beneficence). Peneliti meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subyek (nonmaleficence). Apabila intervensi penelitian berpotensi mengakibatkan cedera atau stres tambahan maka subyek dikeluarkan dari kegiatan penelitian untuk mencegah terjadinya cedera, kesakitan, stres, maupun kematian subyek penelitian.
Peneliti dalam melaksanakan seluruh kegiatan penelitian harus memegang teguh sikap ilmiah (scientific attitude) serta menggunakan prinsip-prinsip etika penelitian. Meskipun intervensi yang dilakukan dalam penelitian tidak memiliki risiko yang dapat merugikan atau membahayakan subyek penelitian, namun peneliti perlu mempertimbangkan aspek sosioetika dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan (Jacob, 2004).
Etika penelitian memiliki berbagai macam prinsip, namun terdapat empat prinsip utama yang perlu dipahami oleh pembaca, yaitu: menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity), menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for privacy and confidentiality), keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness), dan memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and benefits) (Milton, 1999; Loiselle, Profetto-McGrath, Polit & Beck, 2004). Prinsip pertama, peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subyek untuk mendapatkan informasi yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki kebebasan menentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian (autonomy). Beberapa tindakan yang terkait dengan prinsip menghormati harkat dan martabat manusia, adalah: peneliti mempersiapkan formulir persetujuan subyek (informed consent) yang terdiri dari: (1) penjelasan manfaat penelitian; (2) penjelasan kemungkinan risiko dan ketidaknyamanan yang dapat ditimbulkan; (3) penjelasan manfaat yang akan didapatkan; (4) persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan subyek berkaitan dengan prosedur penelitian; (5) persetujuan subyek dapat mengundurkan diri kapan saja; dan (6) jaminan anonimitas dan kerahasiaan. Namun kadangkala, formulir persetujuan subyek tidak cukup memberikan proteksi bagi subyek itu sendiri terutama untuk penelitian-penelitian klinik karena terdapat perbedaan pengetahuan dan otoritas antara peneliti dengan subyek (Sumathipala & Siribaddana, 2004). Kelemahan tersebut dapat diantisipasi dengan adanya prosedur penelitian (Syse, 2000).Prinsip kedua, setiap manusia memiliki hak-hak dasar individu termasuk privasi dan kebebasan individu. Pada dasarnya penelitian akan memberikan akibat terbukanya informasi individu termasuk informasi yang bersifat pribadi. Sedangkan, tidak semua orang menginginkan informasinya diketahui oleh orang lain, sehingga peneliti perlu memperhatikan hak-hak dasar individu tersebut. Dalam aplikasinya, peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas baik nama maupun alamat asal subyek dalam kuesioner dan alat ukur apapun untuk menjaga anonimitas dan kerahasiaan identitas subyek. Peneliti dapat menggunakan koding (inisial atau identification number) sebagai pengganti identitas responden.Prinsip ketiga, prinsip keadilan memiliki konotasi keterbukaan dan adil. Untuk memenuhi prinsip keterbukaan, penelitian dilakukan secara jujur, hati-hati, profesional, berperikemanusiaan, dan memperhatikan faktor-faktor ketepatan, keseksamaan, kecermatan, intimitas, psikologis serta perasaan religius subyek penelitian. Lingkungan penelitian dikondisikan agar memenuhi prinsip keterbukaan yaitu kejelasan prosedur penelitian. Keadilan memiliki bermacam-macam teori, namun yang terpenting adalah bagaimanakah keuntungan dan beban harus didistribusikan di antara anggota kelompok masyarakat. Prinsip keadilan menekankan sejauh mana kebijakan penelitian membagikan keuntungan dan beban secara merata atau menurut kebutuhan, kemampuan, kontribusi dan pilihan bebas masyarakat. Sebagai contoh dalam prosedur penelitian, peneliti mempertimbangkan aspek keadilan gender dan hak subyek untuk mendapatkan perlakuan yang sama baik sebelum, selama, maupun sesudah berpartisipasi dalam penelitian.Prinsip keempat, peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian guna mendapatkan hasil yang bermanfaat semaksimal mungkin bagi subyek penelitian dan dapat dijeneralisasikan di tingkat populasi (beneficence). Peneliti meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subyek (nonmaleficence). Apabila intervensi penelitian berpotensi mengakibatkan cedera atau stres tambahan maka subyek dikeluarkan dari kegiatan penelitian untuk mencegah terjadinya cedera, kesakitan, stres, maupun kematian subyek penelitian.
SUMBER :
Jacob, T. 2004. Etika Penelitian Ilmiah. Warta Penelitian
Universitas Gadjah Mada (Edisi Khusus), 60-63.
Loiselle, C.G., Profetto-McGrath, J., Polit, D.F., & Beck, C.T. 2004. Canadian Essentials of Nursing Research. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Milton, C.L. 1999. Ethical Issues From Nursing Theoretical Perspectives. Nursing Science Quarterly, 12(1): 20-25.
Sastrapratedja, M. 2004. Landasan Moral Etika Penelitian. Warta Penelitian Universitas Gadjah Mada (Edisi Khusus), 50-59.
Sumathipala, A. & Siribaddana, S. 2004. Revisiting “Freely Given Informed Consent” in Relation to the Developing World: Role of an Ombudsman. The American Journal of Bioethics, 4(3): W1–W7.
Syse, A. 2000. Norway: Valid (as oppose to informed) consent. The Lancet 356:1347–1348.
Loiselle, C.G., Profetto-McGrath, J., Polit, D.F., & Beck, C.T. 2004. Canadian Essentials of Nursing Research. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Milton, C.L. 1999. Ethical Issues From Nursing Theoretical Perspectives. Nursing Science Quarterly, 12(1): 20-25.
Sastrapratedja, M. 2004. Landasan Moral Etika Penelitian. Warta Penelitian Universitas Gadjah Mada (Edisi Khusus), 50-59.
Sumathipala, A. & Siribaddana, S. 2004. Revisiting “Freely Given Informed Consent” in Relation to the Developing World: Role of an Ombudsman. The American Journal of Bioethics, 4(3): W1–W7.
Syse, A. 2000. Norway: Valid (as oppose to informed) consent. The Lancet 356:1347–1348.